Siang itu panas mentari di negeri borneo begitu menyengat hingga terasa menusuk kekulit ari, tetapi kaki-kaki kecilnya seakan tak kunjung lelah. Semua itu tak menyurutkan langkahnya. Ia terus berjalan menyusuri perempatan lampu merah sambil menjajakan koran. “koran koran..koran koran..korannya pak..korannya bu.. Banjarmasin post..harian pagi..”ujarnya. Begitulah kegiatan rutin bocah berusia 11 tahun itu setiap sepulang dari sekolah. Ayahnya telah tiada sejak umurnya 2 tahun karena penyakit jantung yang tak terobati mengingat kondisi ekonomi keluarganya yang sangat lemah. Ibunya tak lebih hanyalah seorang tukang cuci yang berpenghasilan pas-pasan. Untuk mencukupi kebutuhan makan saja sulit, apalagi untuk keperluan sekolahnya. Demi menutupi kekurangan dalam kebutuhan mereka, ibu fahri terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan bekerja serabutan
Ibu fahri kerap kali menasihati fahri,”Fahri..inilah hidup..penuh perjuangan..kamu anak laki-laki ibu satu-satunya..kamu harus kuat..jangan cengeng..teruslah berjuang..kamulah harapan ibu..”.Lalu fahri menjawab,”Bu..fahri akan sungguh-sungguh belajar..fahri juga ingin bantu ibu..kasihan ibu kecapekan..fahri sayang benar sama ibu..”.Sembari mengusap rambut fahri yang telah memerah, ibu berkata”fahri..kamu memang anak yang baik..yuk kita makan sahur dulu..”.
Mengingat kondisi ibunya yang seperti itu, Fahri tak mau tinggal diam berpangku tangan di rumah. Untuk menambah biaya keperluan sekolahnya, setiap sepulang sekolah fahri bekerja menjajakan korannya ketika lampu merah di perempatan jalan. Kadang dia mendapat untung apabila korannya habis terjual, tapi tak jarang pula dia mendapat rugi karena tak satupun korannya laku terjual. Di sekolah, Fahri termasuk anak yang berprestasi dan rankingnya selalu tak pernah di bawah 3 besar di kelasnya sehingga diapun menjadi murid kesayangan para guru.Pada bulan puasa tahun ini, tidak ada kebijakan dari pemerintah untuk libur di sekolahnya. Walaupun begitu, Fahri tetap bersemangat menjajakan korannya.
Suatu ketika saat ia menjajakan korannya di lampu merah, pada saat yang bersamaan di balik kaca mobil tak sengaja aku memperhatikan anak itu. Tak dinyana, hatiku tergerak untuk mengetahui jati diri siapa anak itu. “Abi..Abi..sebentar, Iffah mau beli koran sama anak itu..”ujarku. “Dik, kakak beli korannya satu ya…”, kataku. “iya kak..ini..”, jawabnya. Lalu aku langsung merogoh sakuku. Kebetulan saat itu aku tak membawa uang kecil, lalu kusodorkan selembar uang limapuluh ribuan padanya. Ia kemudian berkata,”apa ga ada uang kecil ka..ga ada kembaliannya..”.”Ga ada dik..kalau begitu kakak beli tiga ya..kembaliannya buat kamu saja..”jawabku. “Ga bisa begitu kak..saya ga berhak ..”. “Sudahlah dik..biar untuk kamu ya…”. Beberapa saat kemudian lampu merah jalan pun berganti menjadi hijau.”Terima kasih ya dik…”ujarku. Anak itu hanya tersenyum kecil.
Sehabis tarawih di mesjid, aku bercakap-cakap dengan Umi dan Abiku di ruang keluarga. “Umi..Abi..tadi Iffah lihat anak kecil itu berjualan koran..Abi juga lihat kan ..Iffah kasihan lihat dia Abi..dia masih terlalu kecil untuk bekerja sekeras itu..”,ujarku. “Abi..izinkan Iffah besok cari tau tentang dia ya..”lanjutku.Lalu Abiku menjawab,”Iffah kenapa sepeduli itu sama anak itu?”.”Iffah juga tak tau kenapa Abi..Iffah sangat bersimpati padanya..sejak Iffah melihatnya, hati Iffah sudah tergerak hendak mencari tahu jati dirinya. “Baiklah…Abi dukung keinginanmu..tapi jangan pulang malam ya…”,kata Abi.”Baik ayah..do’akan Iffah ya supaya Allah selalu melindungi Iffah..”
Keesokan harinya, aku mengikutinya setelah dia selesai menjajakan korannya. Kemudian aku langsung keluar dari mobilku dan bergegas menghampirinya.”Dik..”,panggilku padanya.”Korannya masih ada?”,ujarku. “Masih kak..kebetulan masih sisa dua “, jawabnya. “Ehm..kakak beli satu ya..”, kataku. Langsung ku sodorkan uangku padanya, ”ini uangnya dik..makasih ya..”.”sama-sama kak”, jawabnya.”Boleh kakak kenal dengan adik..nama adik siapa?”,kataku.Dia seraya menjawab,”nama saya Fahri kak..”.”Fahri..nama yang indah..Fahri mau ga berkawan dengan kakak..kebetulan kakakingin sekali mengenal Fahri dan keluarga..”ujarku. “Tentu saja kak..Fahri tak keberatan berkawan dengan kakak..”jawabnya. “Trima kasih adik kecil..oh ya, nama kakak syarifah..panggil saja kak Iffah, biar lebih akrab kedengarannya..kapan-kapan kakak main ya ke rumah Fahri..”kataku.
Hari-hari berikutnya , selepas kuliah aku pergi ke tempat yang sama dimana Fahri menjajakan korannya untuk menemuinya. Setelah selesai menjajakan korannya, aku menghampiri dia lagi. “Fahri..sudah mau pulang ya..”kataku. “Iya kak..nie baru mau pulang..Alhamdulillah hari ini korannya laku habis..”jawabnya. “Syukurlah kalau begitu..Fahri, boleh ga kaka mampir ke rumah Fahri sekalian bersillaturrahmi dengan orang tua Fahri..”ujarku. “Tentu saja kak..tapi apa kak Iffah berkenan mampir di gubug Fahri yang hendak runtuh?”jawabnya. Akupun seraya menjawab,”tak apa-apa Fahri..dengan senang hati..rumah ka iffah juga biasa saja..”.Kemudian kami berjalan beriringan. Rumah Fahri jauh dari tempat menjaja korannya. Jalannya pun hanya dapat dilewati oleh kendaraan roda dua, jadi aku parkirkan mobilku sementara di sudut jalan perkampungannya. Sementara kakiku telah lelah melangkah, Fahri terus saja melangkah dengan semangatnya.”Wah…anak ini kuat banget..sudah berapa kilo nih..aku saja sudah kepayahan..duh..mana haus banget lagi..Astaghfirullah..aku kan puasa..”ucapku dalam hati.
Kurang lebih empatpuluh lima menit kemudian kami telah sampai di rumah Fahri. Rumahnya hanya beratapkan rumbia yang sudah reot ditelan waktu. Lantainya pun sudah banyak yang lapuk. “Assalamu’alaikum…”ujar kami bersamaan. “Wa’alaikum salam…Fahri..kamu datang sama siapa nak?”, kata ibu. “Fahri datang sama ka Iffah bu..teman baru Fahri..Ka Iffah..ini bunda Fahri..”ucap Fahri.Lalu seraya aku bersalaman dengan bundanya.Bunda Fahri seorang wanita setengah baya. Sorot matanya teduh, walaupun sudah mulai di tumbuhi keriput yang menandakan bahwa dia sudah tak muda lagi. “Oh..jadi ini teman baru Fahri..silahkan masuk nak Iffah”kata ibu. “Makasih bu” jawabku. Tak berapa lama setelah itu adzan ashar berkumandang, Ibu Fahri lalu berkata, “nak Iffah..ibu sholat dulu ya..Iffah mau sholat jugakah?”.”iya bu..”jawabku. “Tunggu ibu selesai sholat ya..”.kata ibu. “inggih bu..” jawabku. Setelah ibu selesai sholat,kemudian giliranku sholat, sementara Fahri sedang asyik bertadarus al-Qur’an di kamarnya. Setelah aku selesai sholat, aku dan ibu Fahri duduk di kursi teras rumah sambil berbincang-bincang. Beliau bercerita tentang banyak hal,mulai dari ayah Fahri, pekerjaan beliau, serta Fahri. Lalu sontak akupun bertanya,”bagaimana dengan sekolah Fahri bu..”kataku. Bunda Fahri pun menjawab dengan teduhnya,”Dia tetap bersekolah..meskipun penghasilan ibu pas-pasan untuk memenuhi kebutuhannya, tapi dia bersikukuh membantu ibu dengan menjajakan koran..dia anak yang baik Fah..”jawabnya. “Ehm..begitukah bu..”kataku. “Begitu kerasnya hidup mereka…”fikirku.
Tak terasa Adzan maghrib pun berkumandang, tanda saatnya waktu berbuka telah tiba. “nak Iffah..yuk makan sama kami..”kata ibu. Aku seraya menjawab,”Ehm..tidak usah repot-repot bu..Iffah buka di rumah Iffah saja..”jawabku. “jangan berkata begitu..ibu senang kalau Iffah mampir dan berbuka di sini..yuk kita berbuka sama-sama..”kata ibu. Akhirnya aku berbuka dengan hidangan ala kadarnya. “Anak-anak..jangan lupa bacado’a dulu ya..”kata ibu.”Allahumma laka sumtu wabika aamantu wa’ala rizkika afthortu birohmatika ya arhamarrohimin….”ucap kami bersamaan. Saat itu pula hatiku bergeritik “Ha…kok lauknya Cuma tempe goreng doank…mana ikannya..mana sayurnya..”. Tiba-tiba Fahri seraya berkata sambil tersenyum penuh syukur,”Alhamdulillah….bu..hari ini lauknya tempe goreng..ini lauk kesukaan Fahri bu..”.Bunda Fahri hanya tersenyum. Sontak hatiku terharu melihat ketulusan anak ini. Begitu pandainya dia bersyukur dengan sedikit rezekipun. Setelah berbuka, ku sempatkan sholat maghrib di rumahnya, lalu berpamitan dengan mereka. “Bu..saya pulang dulu ya..”kataku. “iya nak..kapan-kapan mampir ke sini lagi ya..”jawabnya. “Insya Allah bu..”kataku seraya bersalaman dengan bunda Fahri.
Dalam perjalanan menuju rumah, aku merenung. “Kenapa aku tak pandai bersyukur seperti Fahri..kenapa aku selalu merasa tak pernah cukup,padahal cukuplah sudah rezeki yang diberikan Allah padaku ..begitu kerasnya hidupnyapun dia tetap bersyukur dan tak pernah mengeluh..sedangkan aku yang lahirdari keluarga berkecukupan, selalu saja mengeluh….kenapa aku selalu mengeluh..”. Tak terasa air mataku menetes menyadari kealfaanku selama ini. “Fahri..dia begitu kaya..hatinya begitu bersih..tulus dan tak sedikitpun dia mengeluh dalam hidupnya..sinar matanya pun tak pernah menampakkan kepedihan..dia telah kukuh di tempa hidup..Subhanallah…aku benar-benar belajar dari anak itu..”
Sesampainya di rumah, lalu aku menceritakan segala kejadian yang aku alami siang tadi. “Abi…apakah abi bersedia menjadi orang tua asuh Fahri..Iffah salut melihat giatnya Fahri..walaupun dia masih kecil..dia ingin sekali bahagiakan bundanya..Abi..”kataku. “Iffah, Abi bangga padamu..rupanya kamu telah mulai memahami makna kehidupan..kamu sudah dewasa sekarang…”jawab abiku. “Baiklah..Abi akan menjadi orang tua asuh Fahri..dan biaya Fahri hingga kuliyah Abi yang tanggung..”,tambahnya. “Terima kasih Abi..Semoga Allah selalu memberkahi Abi…”.
Beberapa hari berikutnya setelah final test mata kuliah terakhirku, aku menyusuri jalan dimana ia biasa menjajakan korannya. Entah mengapa hari ini Fahri kecil sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya. Aku menunggunya di sudut jalan. Sejam, dua jam, tiga jam aku menunggunya, tapi tak membuahkan hasil. Dia tetap tak muncul-muncul. Akhirnya, aku putuskan mencari dia ke rumahnya. Tetapi, sesampainya di rumahnya aku sangat terkejut. Rumah yang baru beberapa hari lalu ku singgahi hanya tinggal puing-puing. Sepertinya ada kebakaran disini fikirku. Tak berapa jauh dari rumah itu, aku melihat bendera hijau terpasang tanda baru saja ada orang yang meninggal. Hatiku sangatlah tak karuan,lalu ku putuskan untuk bertanya pada bapak-bapak yang berada di serambinya,”pak..kalau boleh tau, siapa yang meninggal…”.Lalu salah seorang dari bapak itu menjawab, “Ibu dan seorang anak laki-lakinya dik..khabar khabar mengatakan, ketika hendak tidur ibunya lupa mematikan dapur perapian tempatnya memasak sehingga mereka berdua tewas seketika..tapi ajaibnya jenazah mereka utuh dik..”. “Bolehkah saya melihat mereka pak..”.kataku. Dengan tergesa aku masuk seraya perlahan ku buka helai kain yang menutupi mereka…ternyata Bunda Fahri dan anaknya berdampingan. Kulihat Fahri telah tiada dan meninggalkan segurat senyuman di wajahnya. Subhanallah….Fahri…tanpa kusadari air mataku mengalir dengan derasnya. Tiba-tiba semua gelap. Semua seakan melayang.Tinggal keheningan. antara sadar dan tak kusadari Fahri melambaikan tangannya tanda perpisahan padaku.
Senin, 24 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
~...sm!l33...~002.jpg)

0 komentar:
Posting Komentar