Selamat Datang di Blog Saya

Senin, 24 November 2008

PSYCHO

Lelaki itu tak lebih hanyalah seorang pelukis surialis. Namanya Herman felanie. Orang biasa memanggilnya Herman. Sepanjang hari ia hanya duduk bertemankan kanvas dan sebuah kuas di tangannya.

Setiap sentuhan dari kuasnya, seakan menggambarkan makna yang tak banyak diketahui oleh orang. Bagi kebanyakan orang, mungkin lukisan-lukisannya hanyalah sebatas coretan-coretan tak beraturan yang tak punya makna apa-apa. Tapi baginya, lukisan itu seperti gambaran kedukaan yang amat mendalam yang tertuang secara tersirat. Cambangnya dibiarkan tumbuh tak terawat layaknya rumput liar yang tertanam di wajahnya yang tirus. Bajunya kumal menandakan pemiliknya tak pernah mencuci. Badannya kusam penuh daki seakan bertahun-tahun tak pernah mandi. Seolah-olah, semua itu adalah sebuah dunia kecil dimana ia bias mengekspresikan segala macam bentuk ornamen perasaan hatinya
Beberapa tahun yang lalu, dia masih mempunyai seorang istri yang sangat cantik dan selalu setia menemaninya. Dia baru setahun menikah dan belum sempat memiliki anak.. Hidupnya sangat bahagia dan ia termasuk seorang eksekutif muda yang sukses dalam berkarir. Saat itu, ia tengah memenangkan tender sebuah proyek di perusahaannya. Lalu ia mengajak serta isterinya untuk berlibur ke sebuah kawasan wisata di hutan Mandiangin. Sampai tragedy itu terjadi pada hari kamis kelabu itu. Dalam perjalanannya menuju mandiangin, ketika ia tengah mengemudikan mobilnya, pada saat yang bersamaan pula dari arah yang berlawanan sebuah truk berkecepatan tinggi melaju dengan kencang. Ia mencoba membanting setir kemudinya untuk menghindar, tapi mobilnya menabrak palang jembatan. Seketika itu pula, mobil yang dikemudikannya terjatuh kejurang. Beberapa detik terguling-guling, hingga akhirnya terjatuh ke dasar. Isterinya tewas seketika. Takdir memang tak dapat dielakkan. Tuhan sungguh Maha Kuasa. Setelah kurang lebih dua jam diruang operasi pembedahan otaknya, akhirnya ia selamat. Semenjak itulah, alur hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat.
Insiden itu memang sangat berpengaruh pada kewarasannya. Agaknya, ia terlalu
depresi dengan apa yang dia alami. Berulang kali ia mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Tetapi selalu saja gagal. Barangkali Tuhan punya maksud tertentu padanya. Pasca kecelakaan, ia terkadang meracau tak karuan memanggil-manggil nama istrinya, terkadang pula ia tertawa sambil menangis sesenggukan. Dia lebih banyak melamun seolah-olah ia tidak berada dalam alam sadarnya. Sepertinya ia menikmati dunia kecil yang telah ia bangun itu. Karirnyapun hancur. Perlahan tapi pasti, perusahaan yang telah ia bangun bangkrut. Fikirannya hanya terfokus pada satu titik. Orang tuanya pun sudah kehabisan akal untuk mengembalikan kesadarannya sepenuhnya.
Bertahun-tahun kemudian, akhirnya dia sudah mau bicara. Walaupun kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Ia memutuskan untuk berhijrah dan menyendiri ke daerah lain. Kini, ia hanya tinggal sendiri di sebuah kontrakan sempit di daerah Batumandi. Ia memang belum bisa dikatakan gila, tapi jiwanya sangat labil sehingga membuat emosinya tak terkendali akibat terlalu depresi. Dunia seni memang telah lama ia tinggalkan mengingat bahwa ia sempat mengenyam pendidikan di sebuah institut kesenian di Surabaya selama dua tahun. Setelah itu dia pindah ke Banjarmasin dan melanjutkan studinya di Fakultas Ekonomi UNLAM. Semenjak itu pula, seni lukis yang pernah di kecapnya ia tinggalkan. Tapi sepeninggal istrinya, dunia itu seakan kembali. Ia sepertinya lebih betah menghabiskan waktunya untuk melukis objek-objek absurd. Segala objek yang ada di imajinasinya.
Para tetangga sekitar memandangnya sebagai lelaki aneh dan tertutup bahkan keberadaannya seakan terisolir di desa itu. Sebagian yang lainpun mengganggap dia tak lebih dari seorang lelaki gila. Bagaimana tidak, jika hampir setiap hari penduduk yang lewat di depan rumahnya melihat dia sedang duduk di beranda, sambil tertawa-tawa dan berbicara sendiri seakan-akan dia tengah berbicara dengan objek hidup, padahal kenyataannya objek lawan bicaranya itu tak ada sama sekali. Mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat keanehannya itu. Tapi berbeda halnya dengan Herman. Baginya hal yang ia lakukan itu adalah sebuah kewajaran. Baginya, Kayla Pahlevi istrinya itu tetap hidup dalam jiwanya.
Sepeti biasanya, siang itu dia tengah melukis objek . Sembari menulis, ia bercakap-cakap dengan Kayla. Sosok istrinya yang ia anggap masih hidup. “Kayla…bagaimana menurutmu lukisan ini sayang?”Tanya herman. Sosok itu tersenyum kecil seraya menjawab,”lukisan ini sungguh indah mas herman, tapi apa makna coretan-coretan ini?”. Herman pun mendekap erat sosok Kayla di dadanya seraya menjawab dengan segurat senyuman,”lukisan ini adalah gambaran betapa dalam kecintaanku padamu Kayla…..sungguh aku sangat mencintaimu sayang…..’. Seketika itu pula, bayangan Kayla lenyap tak berbekas. Lagi-lagi Herman meracau tak karuan. Dia mengamuk dan menangis sejadi-jadinya. Sepertinya para tetangga sekitar telah menganggap hal itu sebagai hal biasa sekarang karena aktivitas Herman telah menjadi kebiasaan rutin ditiap hari-harinya.
Kebiasaannya it terus berlangsung selama berbulan-bulan. Dia tidak pernah memperhatikan kesehatannya. Tubuhnya makin lama makin kurus karena tak cukup asupan nutrisi. Pola hidup serta makannya tak pernah ia perhatikan. Sampai akhirnya, pada suatu petang saat ia tengah melukis objek absurdnya, ia baru menyadari bahwa kedua belah kakinya telah dipenuhi oleh belatung-belatung yang sangat menjijikkan. Mungkinkah ia telah terserang kencing manis?. Bisa jadi, mengingat hidupnya yang serba tidak teratur. Tapi sepertinya tak satupun kesedihan terpancar di mata sayunya. Ia bahkan merasa sangat menikmati keadaannya. Saat itu, ia menangkap sosok Kayla telah berada di sisinya. Kemudian Herman berkata, “ Kayla…..Sayangku….kau lihat ini?”sembari memamerkan ribuan belatung di kakinya yang mulai membusuk. “ ha...ha…ha…ha….Sayang,…..tak lama lagi kita akan bersatu sayang…..aku sangat bahagia dengan penderitaan ini….belatung-belatung ini akan menggerogoti seluruh tubuhku dan kita akan bersama selamanya sayang….aku benar-benar mencintaimu Kaylaku…….”. Kali ini Kayla hanya terdiam membisu memandang herman. Pandangan matanya kosong dan kulitnya memucat seketika sepucat warna kayu si rumah itu. Perlahan’, ia menghilang lagi.
Sebulan kemudian, penduduk sekitar desa itu mencium bau yang sangat busuk dari dalam rumah seorang penduduk yang tak lain dan tak bukan adalah herman. Herman di temukan telah tidak bernyawa lagi dengan menggenggam sebuah kuas di tangannya dan dikanvasnya terdapat sebuah nama yang si lukis dengan cat merah darah.. KAYLA. Tubuhnya telah membusuk dipenuhi belatung-belatung yang sangat menjijikkan. Sungguh naas, itulah akhir kehidupan Herman, sang pelukis surialis.


0 komentar: